HARI TANPA JENGKOL

oleh : Wiarsih Asikin


      JENGKOL dan Pete emang kerap dijadikan  bahan guyonan yang membuat siapapun bisa tertawa atau belum tentu bisa membuat siapapun tersenyum. Bukan lantaran gengsi Jengkol dan Pete makin meningkat. Jelang lebaran malah  mampu bertengger di harga yang membuat kalangan bawah menjerit, kalang kabut karena tak mampu membeli. Sebab, jengkol dibandrol di harga Rp 100.000 per kg sedangkan pete Rp 20.000 per papan.
      Makdirodok banget, kan? Padahal, ciri khas kedua benda tersebut sangat dipinggirkan, sebab aroma baunya lebih sering disinisi timbang diingini.
      Mengapa benda yang aroma baunya justeru diemohi, dalam hal harga jengkol, bisa mematok diri ke harga yang bukan melegakan tapi malah sangat mengagetkan konsumen
      Ketika hal ini ingin saya tanyakan ke pengamat khusus tentang jengkol pada seorang yang layak disebut pakar jengkol, saya justeru ditertawakan. Para pedagang sepertinya lebih ingin meledek saya, karena mereka bilang, nggak bakal ada pakar yang ikhlas berbau bau dalam menyelidiki jengkol dan pete. Apalagi, laboratorium harus selalu steril dan tak boleh ada aroma yang tidak mengasyikan.
      Tentu saja saya tidak boleh menanggapi dengan kesal apalagi emosi. Sebab, perkara jengkol dan pete lebih dominan dikuasai aroma bau menyengat timbang aroma emosi yang tanpa atau dengan semangat. Jadi, saya hanya bisa menyimpulkan, jika tidak ada pakar yang mempromosikan diri sebagai pengamat khusus jengkol dan pete atau pakar jengkol dan pete. tak lain karena aroma bau jengkol dan pete, masih dianggap hal tabu. Itu sebabnya, dibilang pakar malah tak mau
      Mengapa? Karena hingga saat ini, anggota dewan belum pernah berpikir untuk membuat undang undang tentang pete dan jengkol. Artinya, bagaimana mungkin bisa berpikir untuk membuat dengan sengaja atau merekayasa sebuah undang undang yang isinya melulu pete dan jengkol. Padahal, yang namanya undang undang, boleh dinamakan apa saja dan jika yang akan dibuat payung hukumnya tentang jengkol, tak sulit membuat draft undang undang perjengkolan dan perpeteen. Hanya, janganlah mendasarinya dari aspek bau.
      Jika perspektif pendekatannya dari aspek jengkol sebagai komoditas yang mampu mendatangkan hasil untuk kas pemda, mestinya, anggota dewan sudah sanggup memprediksi jika suatu saat, jengkol dan pete mampu berperan dan sanggup menjadi lokomotif ekonomi manakala eksistensi kedua benda bau ini, ditegakkan sedemikian rupa.
     Jika upaya penegakkan hukum yang terkait dengan jengkol tetap dibiarkan terlantar, maka pete dan jengkol yang tak pernah berpayung hukum, akan terus menerus diekploetasi oleh para tengkulak dan spekulan yang pasti akan mahir menghitung berapa besarnya keuntungan yang bakal masuk kocek, bila kapan pun bisa mengekploetasi jengkol dan pete sebagai komoditas yang tak diagendakan untuk dikenai pajak.
      Padahal, para pegawai pajak yang jujur maupun suka korupsi,  juga banyak yang secara diam diam atau terang terangan suka maka pete dan jengkol.
      Lantas, apakah jengkol dan pete bisa disentuh oleh aparat bea cukai. karena harganya yang tiba tiba melambung, membuat para spekulan di berbagai tempat di Indonesia, terpicu untuk menyelundupkan jengkol dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah Republik Indonesia.
      Tapi, saya lebih suka jika pemerintah membuat kebijaksanaan sehingga berkenan menetapkan tanggal kenaikan harga jengkol ke tingkat tinggi, sebagai hari pete dan jengkol se Indonesia, dan ditetapkannya hal itu, mewajibkan semua warga negera untuk makan pete dan jengkol dengan cara yang beradab.
      Artinya, setelah menyikat habis pete dan jengkol yang disediakan pemerintah, dilarang kentut sembarangan. Sebab, jika kentut setelah makan pete dan jengkol, aroma baunya yang sangat melagenda, tak akan bisa menghilangkan llinu, pegal dan keseleo.
      Jadi, saya setuju bila pemerintah menetapkan hari jengkol se Indonesia 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "HARI TANPA JENGKOL"

Post a Comment